Satgas PKH Pasang Plang di Tambang Nikel Milik Istri Gubernur Sultra
Bombana, SULTRAPOS.ID – Langkah Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) kembali memantik sorotan publik. Pada Kamis (11/9), Satgas yang dibentuk Presiden Prabowo Subianto itu melakukan pemasangan plang penguasaan di areal pertambangan nikel PT Tonia Mitra Sejahtera (PT TMS) di Kabaena, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara.
Yang menjadi perhatian, perusahaan tambang tersebut tercatat milik Arinta Nila Hapsari, istri Gubernur Sulawesi Tenggara Andi Sumangerukka (ASR).
Plang yang dipasang dan dijaga personel TNI menyebutkan, lahan seluas 172,82 hektare kini berada dalam penguasaan Pemerintah RI di bawah koordinasi Satgas PKH. Selain itu, plang juga menegaskan larangan memperjualbelikan atau menguasai lahan tanpa izin Satgas PKH, dengan dasar hukum Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penerbitan Kawasan Hutan.
Namun hingga kini, tidak ada penjelasan resmi baik dari Satgas PKH maupun manajemen PT TMS mengenai status hukum lahan maupun tindak lanjut atas penertiban tersebut.
Jejak Penertiban di Bombana
Ini bukan kali pertama Satgas PKH turun tangan di Bombana. Pada 15 Agustus 2025, Satgas melakukan aksi serupa terhadap lahan perkebunan sawit milik PT Sampewali yang mencapai 24.233 hektare. Aksi itu dipimpin langsung Ketua Satgas PKH Dr. Febrie Adriansyah, bersama perwira tinggi TNI dan pimpinan BPKP.
Menariknya, Gubernur ASR justru hadir dalam operasi itu. Ia bahkan berpose bersama pejabat Satgas di bawah plang yang menyatakan lahan sawit tersebut telah diambil alih negara.
Kontradiksi dan Pertanyaan Publik
Kini, ketika giliran perusahaan tambang yang dikaitkan dengan istrinya disegel, publik menyoroti potensi konflik kepentingan dan menuntut transparansi.
Kehadiran Gubernur ASR dalam penertiban sebelumnya menimbulkan pertanyaan serius: mengapa ia ikut serta dalam penertiban perusahaan lain, tetapi diam ketika perusahaan keluarganya sendiri yang ditertibkan?
Selain itu, publik juga mendesak Satgas PKH untuk menjelaskan, apakah penertiban ini murni penegakan hukum atau sekadar simbolis tanpa tindak lanjut nyata. Pasalnya, tanpa kepastian hukum dan penindakan tegas, langkah Satgas berisiko dianggap hanya pencitraan politik semata.
Desakan Transparansi
Masyarakat Sulawesi Tenggara kini menunggu dua hal: kejelasan status hukum lahan PT TMS, dan sikap terbuka dari Gubernur ASR terkait keterkaitan keluarganya dalam bisnis tambang yang ditertibkan negara.
Tanpa itu, kepercayaan publik terhadap integritas penegakan hukum di sektor kehutanan dan pertambangan dikhawatirkan akan semakin luntur. (Redaksi).
0 Komentar