Breaking News

Resolusi Konflik dalam Dunia Islam


OPINI, SULTRAPOS.ID - Tulisan ini dibuat atas dasar harapan kebaikan akan kebutuhan dalam berislam. Dengan dasar itulah tulisan ini ini berangkat dari 1) kegelisahan yangterjadi baik secara individu dan kelompok akan peristiwa saling menghujat dan mengkritisi satu sama lain dengan metode yang tidak elegan 2) media sosial khususnya Tik Tok, Instagram dan Whataps menjadi platform yang paling banyak mengakselerasi potensinkonflik dalam Islam 3) pembahasan yang dibahas dan menjadi sebab beda persepsi adalah perkara-perkara yang ikhtilaf para ulama dan ahli ilmu. Sehingga membuat kebingungan dikaangan masyarakat awam atau penganut pada identitas komunitas pengajian tertentu. Oleh sebab itulah tulisan ini mencoba menyumbangkan ide dan gagasan untuk memikirkan resolusi konflik dalam dunia Islam.

Pada dasarnya manusia itu lahir dimuka bumi sebagai khalifa. Yang artinya manusia diberi amanah yang besar untuk memelihara dan menjaga bumi sebagai tempat hidup dan beribadah. Karena memang tugas manusia diciptakan adalah untuk beribadah dalam bentuk apapun sesuai dengan tuntutan aturan dalam Islam. Makanya karena dasar argumennya untuk beribadah maka manusia pada dasarnya dilarang untuk melampaui batas, berbuat kerusakan dan hal lain yang berpotensi untuk menciptakan kerusuhan. Dalam Al Quran disampaikan bahwa manusia itu diciptakan dari jenis laki-laki dan perempuan ,kemudian menjadikan mereka menjadi bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar mereka saling mengenal ( Al Hujurat :13). Makna dari ayat ini adalah 1) bahwa manusia memang pada dasarnya diciptakan dari sebuah perbedaan 2) kemudian mereka menjadi identitas berbeda 3), dan akhirnya mereka bisa saling mengenal. Pada poin saling mengenal inilah yang perlu digaris bawahi yang maksud poinya adalah untuk bisa saling mengenal tentunya melalui komunikasi.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka memang poin utamanya adalah komunikasi yang bisa berfungsi untuk bisa saling mengenal satu sama lainya dan sebagai medium untuk bisa menciptakan resolusi jika terjadi perbedaan persepsi yangberujung pada konflik.sehubungan dengan hal tersebut muncul salah satu fenomena viral yang berhubungan dengan pembaasan Hukum Musik dalam Islam. Pembahasan tersebut dilakukan oleh Ustad Adi Hidayat ( UAH) pada tahun 2018. Video lama tersebut dinggap menciptakan kegaduhan karena membuat masyarakat berbeda persepsi tentang hal tersebut. Padahal video yang viral adalah video yang dipotong dan kemudian di-posting ulang dengan fremung yang berbeda. Implikasinya membuat masyarakat terkonsentrasi pda dua posisi yakni mendukung atau menolak.

Karena video ini selalu mendapatkan respon yang berbeda maka sebenarnya posisi penganut agama Islam itu dipisahkan oleh identitas tertentu. Implikasinya seringkali berbeda sifat hukum dan sikap hukum dalam menyikapi perkara ikhtilaf dalam agama. Penulis membagi 4 identitas yang mungkin memiliki banyak penganut 1) Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah , Salafi dan orang awam. Orang awam. Viralnya video tersebut menimbulkan cara pandang berbeda dari alim ulama dari ketiga identitas di atas. Sehingga yang menjadi korban adalah orang awam yang hanya menilai pada perbedaanya saja. Apalagi orang awam pun ikut menghujat, menyebarkan dan memprovokasi dalam perkara ini.Perkara seperti ini sebenarnya bukan hal baru sebab masih ada perkara lain seperti Qunut, tahlilan, maulidan dll.

Penulis menilai bahwa dunia Islam tidak seharusnya mengalami kemerosotan adab ilmu seperti ini. Karena dasar argumennya jika kehilangan, kekeliruan dan perbedaan disampaikan dalam media yang tidak tepat maka akan justru menimbulkan masalah semakin runyam. Mungkin benar saat ini orang awam dan sebagian orang lainya banyak yang belajar agama melalui platform digital namun jika tidak bijak melalui media ini justru akan terjebak pada pengkultusan pada satu identitas saja. Penulis menilai bahwa ada tiga elemen untuk melihat perkara ini 1) Struktur konflik 2. Akselerator konflik dan 3. Trigger konflik. Tidak elemen ini harus ditinjau secara seksama agar bisa merumuskan resolusi yang baik.

Pada poin struktur yang berhubungan dengan kebijakan atau kebijaksanaan dalam menentukan sumber konflik. Sumber utama pada perkara ini adalah soal hukum musik itu sendiri. UAH sendiri telah menjelaskan bahwa hukum musik itu haram. Namun dari sisi lainya ada juga yang membolehkan dengan catatan. Selain itu pemaknaan Surah As Syuara sebagai Surah Musik ini juga yang menjadi bahan kritikan banyak orang. UAH sendiri sudah melakukan klarifikasi dan menjelaskan secara detail terkait sifat hukum dan sikap UAH terhadap musik. Menurut UAH dia adalah orang yang mencintai Quran dan gelombang Quran berbeda dengan Al Quran sehingga UAH bersikap menjauhi musik. Namun terkait perkara hukum musik maka UAH menjelaskan juga dari sisi yang berbeda pendapat tentang hukum musik. Penulis sendiri menyikapi bagian struktur konflik ini arus didekati dengan perkara komunikasi etik. Artinya sebaiknya alim ulama yang berbeda pendapat untuk saling mengkritik soal hukum di tempat yang beradab. Penulis melihat dalam beberapa waktu terakhir para alim ulama melakukan kritik melalui majelsi-majelis yang mereka pimpin. Kemudian menyalahkan pihak yang berbeda pendapat. Bahkan ada kalimat menghujat, merendahkan dll. Implikasinya membuat struktur konflik tidak selesai. Penulis menilai bahwa ada baiknya jika adab kritik disampaikan dengan elegan. 

Penulis menilai hal ini sejalan dengan pendapat  Zarman(2008) tentang eskalasi konflik. Ketika eskalasi konflik semakin meningkat maka solusinya adalah saling bertemu dan berunding atau mengalah/ berlari dari konflik. Penulis menilai bahwa solusi terbaik adalah para ulama ini berunding dalam bertemu dalam satu momen untuk membahas isu ini secara inklusif dan komprehensif. Penulis menilai metode ini disebut dengan Readyness theory yang artinya pihak-pihak yang berbeda pendapat berunding dan bertemu dalam satu momen untuk berdiskusi. Dengan demikian masing-masing pihak akan akan diberi kesempatan untuk memberikan penjelasan berdasarkan dalil masing-masing yang sudah dipelajari. Artinya sekalipun kedepan dalam dialog tersebut bisa saja terjadi perbedaan namun implikasinya akan menjadi baik. Sebab jika dialog seperti ini dilakukan secara terbuka, penulis khawatir akan sedikit yang akan menyaksikan dan justru hanya akan memperkeruh pada perbedaan karena jauhnya sisi perbedaan ilmu. Selain itu juga setelah melakukan diskusi maka masing-masing pihak akan kembali pada satu statemen yang sama berupa klarifikasi bersama. Hal ini lebih baik dari pada dilakukan secara terpisah di ruang berbeda atau disebut dengan Ripeness theory.

Pada elemen kedua yakni akselerator konflik adalah media sosial dan tempat kritik yang tidak etis. Biar bagaimanapun masing-masing pihak telah memiliki jamaah yang banyak oleh sebab itu jika terdapat perbedaan dan mereka bertemu dengan jamaah lain maka berpotensi juga akan saling menyalahkan. Artinya perbedaan persepsi ditingkat ulama berimplikasi juga pada tingkatan jamaah. Dari sini kita lihat bahwa banyak mereka yang berbeda pendapat justru mengkritiknya melalui majelis. Dan hasil majelsi, kemudian video hasil majelsi itu dipotong dan difreming. Akibatnya justru memperlebar konflik ke dunia Maya. Disisi lainya juga mereka yang memberikan kritik bukan saja kalangan ulama bahkan mereka yang tidak memiliki dasar ilmu agamapyn ikut mengkritik dan berkomentar. Perlu disadari media sosial adalah media pemersatu juga media penghancur yang baik..oleh sebab itulah menurut penulis agar tidak terjadi akselerasi konflik maka sebaiknya baik yang pro atau kontra harus bertemu dimedia yang sama untuk saling berkomunikasi dari perbedaan. 

Selain itu ada elemen trigger konflik. Pada bagian ini menurut penulis adalah mereka yang berperilaku tidak etis. Mereka adalah yang selalu memotong video, mengedit dan melakukan fremung terhadap sebuah video. Terkait yang memotong video UAH adalah seorang mantan Mahasiswa Teknik Industri yang memangvtidak memiliki dasar keilmuan agama. Dasar argumen si pemotong video belum terklarifikasi namun akibat perilaku tersebut membuat kegaduhan di kalangan penganut Islam. Hal ini juga pernah terjadi ketika Ahok berkata soal terjemahan Al Maidah ayat 52. Ternyata ini adalah potongan video juga. Akibatnya menciptakan kegaduhan sosial. Oleh sebab itulah pada intinya setiap pendapat berpotensi keliru dan khilaf. Maka dengan bertemu dimedia dan ruang yang sama maka bisa saja saling meluruskan, saling berbagi dan saling berukhuwah. Sebab jika masih membahas isu dan perkara ikhtilaf seperti ini di media sosial maka kegaduhan seperti ini justru akan muncul kembali. Dengan demikian juga para ulama dan para ahli ilmu harus bijak juga dalam membaca dan menjawab pertanyaan. Jika perkaranya memang berpotensi khilafiyah maka bisa dijawab secara tertutup dan hanya dimajelis saja. Bukan untuk disebarkan. Karena akan memperkeruh jika ada perbedaan pendapat.

Islam sebenarnya sudah memberikan petunjuk untuk menyikapi perkara yang berbeda. Hal ini seperti 1) La Yaskhor ( tidak memperolok-olok) 2. La Talmiji ( jangan mencela) 3. la Tanaabaju,( memanggil dengan sebutan yang buruk) 4. Ijtanibu Min Aldhoni ( berburuk sangka) 5. LA tajasasu (mencari-cari kesalahan orang ) dan 6. la Yaghtan ( menggunjing orang). Dari semua perkara ini adalah hal yang perlu dibangun kesadaran. Artinya bahwa kita kenggap orang lain adalah sudara dan jika ada kesalahan harus disampaikan. Dan penyampaianpun harus melalui adab bukan didepan umum yang berpotensi memperkeruh persoalan. Selain itu juga perlunya peran Kominfo untuk aktif melihat sejumlah perkara yang berpotensi viral dan memicu konflik. Jika memang berpotensi meresahkan salah satu hal yang bisa dilakukan adalah take down video yang dianggap mengganggu.


Penulis: Laode Muhamad Fathun (UPN Veteran Jakarta) 

0 Komentar

Posting Komentar
© Copyright 2022 - Media Online sultrapos.id