Breaking News

Mitigasi Sosial Dampak Pilkada 2024


Oleh: Pendais Hak

Pemilihan Umum (Pemilu) kepala daerah tahun 2024 akan digelar serentak. Hal ini sesuai amanat UU No. 10 Tahun 2016. Keserentakan itu akan dilaksanakan pada tanggal 27 November 2024, sebagaimana jadwal yg ditetapkan dalam Peraturan KPU No. 2 Tahun 2024, tentang jadwal dan tahapan Pilkada.

Pilkada ini merupakan instrumen kekuasaan ditingkatan daerah baik level propinsi maupun kabupaten/kota. Karenanya memiliki kerawanan yang tinggi. Pilkada sebagai gerakan kekuasaan dapat saja dilakukan dalam bentuk atau cara apapun dengan satu tujuan yaitu kekuasaan. Disitulah letak kerawanannya. 

Pilkada dan Kerawanan Sosial 

Kerawanan diprediksi tidak hanya terjadi pada saat proses kampanye dan pelaksanaan pemungutan suara, bahkan sampai pada pasca pilkada. Masalah yang selalu menjadi momok dalam setiap prosesi pilkada misalnya netralitas aparatur negara, penyalahgunaan program, penyalahgunaan sistim birokrasi, intimidasi dan kekerasan, serta profesionalitas penyelenggara Pemilu.  

Masalah-masalah tersebut tidaklah berdiri sendiri. Secara struktur memiliki efek sistemik dalam kehidupan sosial masyarakat khususnya pasca pilkada. Pertama, ancaman konflik sosial selalu saja terjadi sampai pada tingkat lembaga sosial terkecil seperti hubungan rumah tangga (suami-istri) yang berbeda pilihan. Efek ini terjadi biasanya adanya intimidasi dan ketidaksiapan dalam perbedaan pilihan politik. 

Kedua, resiliensi masyarakat melemah dalam menghadap segala perubahan dan tantangan pembangunan yang di lakukan wilayahnya, efeknya akan melahirkan kelompok dan sub kelompok sosial yang saling melemahkan bukan menguatkan. 

Ketiga degradasi nilai-nilai dan norma lokal. Kepentingan kekuasan dapat melabrak segala normal bahkan norma luhur sekalipun. Bagi mereka, merebut kekuasaan itulah tujuan tertinggi melebihi tujuan sosial yang lain. Bahkan tokoh lokal (local point) seperti tokoh adat, imam desa, dan pengasuh ponpes yang selama ini masih menjadi sandaran dalam permusyawaraan lokal, ikut tersandera dan konfigurasi permainan ini. 

Mengacu pada fenomena tersebut, penulis memandang perlu adanya mitigasi sosial sebagai bentuk cegah dini atau rancangan recovery sosial pasca Pilkada, sehingga tidak menimbulkan efek lebih kuat kedepannya.

Pendekatan dalam Mitigasi Sosial

Mitigasi dimaknai dengan pengurangan sesuatu hal merugikan yang telah terjadi atau sesuatu yang diprediksi terjadi. Dalam pengetahuan kebencanaan mitigasi adalah upaya yang dilakukan untuk mengenali resiko dan langkah antisipatif jika resiko itu terjadi.

Pemahaman tentang mitigasi ini penting khususnya ketika dibawah pada ranah antisipasi resiko pilkada. Mengacu pada Jalaluddin (2022) dalam ilmu kebencanaan mengenal pendekatan mitigasi dalam dua hal, pertama mitigasi struktural yaitu upaya meminimalkan resiko bencana melalui pengerahan segala sumberdaya serta memperkuat daya tahan bangunan yang nantinya akan berhadapan langsung dengan bencana. 

Kedua mitigasi non struktural yaitu pencegahan bencana melalui penghindaran (memisahkan) objek dari lokasi bencana serta pengerahan peran serta dan capacity building masyarakat. 

Kedua pendekatan itu memiliki hubungan yang relevan dengan masalah-masalah sosial. Dalam beberapa narasi, konflik sosial apalagi jika berekskalasi yang lebih luas dalam sendi kehidupan, juga ditempatkan sebagai bencana sosial. 

Dalam pendekatan penyelesaian masalah-masalah sosial pun menurut Geertz (1926-2006) menawarkan dua pendekatan yang dapat digunakan yaitu pendekatan struktural dan pendekatan kultural. Pada titik ini penulis melihat ada relevansi yang kuat. Bencana sosial akibat Pilkada akan menjadi catatan buruk demokrasi jika tidak dilakukan mitigasi dini atas efek yang ditimbulkan.

Mitigasi tentunya dapat dilakukan pertama, pendekatan struktural, melalui peran-peran strategis stakeholders yaitu; (1)  penyelenggara pemilu (KPU-Bawaslu), aparat keamanan baik Polri maupun TNI, dan pemerintah di semua level, sedini mungkin sudah melakukan pemetaan kerawanan dan pengukuran indeks potensi kerawanan pemilukada, tentunya bersama program langkah-langkah strategisnya di lapangan. (2) sinergitas semua pemangku kepentingan termasuk peserta dan pendukung tentunya, dapat menjalankan segala aturan main dan program mitigasi sesuai takaran dan indeks kerawanan pada masing-masing lokasi. (3) netralitas dan supportivitas. 

Netralitas yaitu tidak berpihak dalam bentuk apapun diharapkan dilakukan secara konsisten oleh penyelanggara, aparat kemanan, dan pemerintah. Sedangkan supportivitas adalah sikap adil dan jujur mengakui  kekurangan diri dan mengakui kelebihan lawan, diharapkan lahir dari peserta pemilukada, dalam arti lain siap menang dan siap kalah. 

Kedua pendekatan kultural. Yaitu pendekatan yang memusatkan pada gerakan kelompok sosial masyarakat dalam berbagai level untuk terus memberikan edukasi berupa sikap demokratis atas perbedaan pilihan politik. 

Pendekatan ini memerlukan dua sikap dasar yaitu, (1) kesadaran kritis seseorang atau kelompok tentang pentingnya menjaga persatuan dan kerukunan ditengah berbagai hegemoni politik yang berbeda-beda. (2) peran dan partisipasi sosial berupa gerakan yang terorganisir ataupun tidak dalam membangun harmonisasi (peace building). Biasanya voluntery dari kelompok tercerahkan, lembaga sosial, NGO dan tokoh-tokoh lokal masih ada yang tersisa ditengah gempuran konfigurasi para pendukung calon. Mereka inilah yang perlu diorganisir bersinergi dengan aparat. 

Karenanya, mitigasi efek pilkada harus dilakukan dalam dua pendekatan sekaligus yaitu pendekatan struktural dan pendekatan kultural. Keduanya tidak bisa jalan terpisah.
Gerakan yang dilakukan oleh aparat dan penyelenggara outputnya akan efektif jika memiliki sikap netral dan melibatkan masyarakat tertentu secara menyeluruh pada semua level, misalnya lembaga sosial, organisasi kepemudaan, dan lembaga keagamaan.  

Akhirnya Pilkada sebagai instrumen pergantian kepemimpinan di daerah, di satu sisi diharapkan dapat dilaksanakan secara elegan dan demokratis, pada sisi lain tidak menimbulkan efek bencana sosial yang meluas, sehingga tatanan sosial tetap terjaga dan harmonis.

Penulis adalah Kepala Pusat Kajian Moderasi Beragama UHO

0 Komentar

Posting Komentar
© Copyright 2022 - Media Online sultrapos.id