Oleh: Dr. Pendais Haq
Dalam fiqhi, niat merupakan awal kesahihan (sah tidaknya) suatu amal ibadah. "Anniatu al-ashlu fi sahihul ibadah" niat merupakan asal dari sahnya ibadah.
Puasa merupakan salah satu ibadah "asasiyah" (pokok) dalam Islam. Maksudnya syarat, waktu dan sistim pelaksanaannya telah ditetapkan. Niat termasuk salah satu syarat/rukun dalam ibadah puasa. Artinya jika niat tidak dilakukan dengan baik maka akan berdampak pada sah tidaknya puasa seseorang.
Para ulama membagi niat ini kedalam dua bagian. Pertama niat fi sighat (niat dalam bentuk ucapan), kedua niat fi qalbi (niat yg dikomitmenkan dalam hati). Ada pula yang membagi niat dalam dua hal pula yaitu pertama niat formal ibadah, kedua niat hakikat ibadah.
Kedua pembagian itu sesungguhnya memiliki relevansi. Pertama. Niat fi sighat memiliki kesamaan dengan niat formal. Artinya niat itu menjadi prasyarat formal dalam suatu pelaksanaan ibadah. Praktik pengucapan niat ini sering kita baca dalam memulai puasa ataupun saat sahur. Dan kebanyakan orang dari ummat Islam hanya terpaku pada syarat formal tersebut. Kedua, niat fil qalbi memiliki relevansi secara maknawi dengan niat hakiki yaitu niat yang ditanamkan dalam hati bahwa melakukan ibadah puasa tersebut ikhlas semata-mata karena Allah, sebagai bentuk pengabdian teguh seorang hamba kepada Tuhannya, dan komitmen rasa bahagia atas keberadaan ramadan.
Niat pada aspek kedua ini jarang dilakukan dan bahkan kurang diperhatikan. Kata Rasulullah "sungguh merugi seorang muslim yaitu ketika dia mendapati ramadhan tetapi tidak mendapatkan ampunan didalamnya". Dalam hadis yang lain dikatakan "banyak orang yang menjalankan puasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa darinya selain lapar dan dahaga". Efek pelaksanan puasa seperti ini karena lalai mendapatkan keberkahan dan keutamaan puasa, yang tentunya diawali dengan niat yang benar dan tulus lahir dari diri seseorang muslim.
Karenanya untuk meraih segala keutamaan (fahilah) ramadhan sebagai umat Islam tidak cukup menjalani puasa ini mengawalinya dengan niat formal semata, tetapi harus memulai dengan memperbaiki niat lebih dalam. Tertanam dalam hati, pertama memiliki rasa haru dan bahagia dengan keberadaan bulan ramadan. kedua, menanamkan rasa ketulusan yang mendalam bahwa melaksanakan puasa ini semata-mata karena Allah. Ketiga komitmen melalui puasa ramadan melakukan transformasi diri menjadi pribadi yang lebih baik lagi
Akhirnya hanya kepada Allah kita berserah diri atas segala yang telah kita niatkan, khususnya niat menggapai fadhilah ramadan kali ini. Wallahu a'lam
Penulis merupakan Kepala Pusat Kajian Moderasi Beragama UHO dan Korwil Sulsel-Sultra PP GP Ansor
0 Komentar