Breaking News

Kemitraan Industri Sawit, Ketua Umum SPKS Ingatkan Pemda Muna dan Perusahaan Soal Legalitas

Ketua Umum SPKS Sabarudin. FOTO: Ist










SULTRAPOS.ID, MUNA - Dampak negatif dari pengembangan sawit seringkali kita temui di wilayah Indonesia lainnya, seperti permasalahan ilegalitas, konflik sosial dan konflik agraria serta dampak lingkungan.

Persoalan semacam itu seharusnya tidak terulang dan menjadi pembelajaran bagi pemerintah daerah Kabupaten Muna dan perusahan sawit.

Selain itu, pengembangan industri sawit nasional diharapkan mulai bertransformasi yang berbasis pada perkebunan sawit rakyat. Dimana rakyat mengelola kebun dan perusahan mengelola Pabrik Kelapa Sawit (PKS) melalui pola kemitraan yang adil dan menguntungkan dua belah pihak.

Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sabarudin menilai pengembangan sawit di wilayah Kabupaten Muna perlu di laksanakan dengan tata kelola yang baik, transparan dan berkelanjutan.

Menurut Sabarudin, pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengembangan sawit di Kabupaten Muna seperti yang di lakukan oleh PT Krida Agrisawita.

Pengembangan dilakukan di sembilan Kecamatan di Muna yaitu Kecamatan Bone, Marobo, Kabangka, Kabawo, Parigi, Tongkuno, Tongkuno Selatan, Napabhalano dan Lasalepa.

Sabarudin menyebut kepatuhan perusahaan terhadap pemenuhan aspek legalitas harus dilakukan secara transparan dengan prosedur yang legal.

"Mulai dari kesesuaian tata ruang wilayah untuk pengembangan budidaya sawit, perizinan berusaha, termasuk penilaian terhadap AMDAL, pemberian hak atas tanah dan kepatuhan terhadap kewajiban perusahaan pemegang hak atas tanah tersebut terhadap hak-hak masyarakat sekitar," kata Sabarudin.

Perusahaan yang melakukan investasi di bidang perkebunan sawit haruslah memiliki AMDAL, perizinan berusaha dan hak atas tanah, baru dapat beroperasi, bukan sebaliknya.

Selain karena standar prosedur yang legal, tambah dia, hal tersebut untuk mencegah terjadinya konflik sosial dan konflik pertanahan dengan masyarakat dikemudian hari. 

Pengurusan hak atas tanah perusahaan yang mencakup tanah masyarakat adat harus melalui prosedur pengalihan hak atas tanah yang legal dengan menjalankan prinsip FPIC yang menyeluruh bagi masyarakat adat.

"Pengalihan hak atas tanah untuk perkebunan sawit bukanlah melalui proses ganti rugi sebagaimana pengadaan tanah untuk pembangunan untuk kepentingan umum, melainkan proses jual beli tanpa ada paksaan dan intimidasi dari pihak lain," ucap Sabarudin.

Masyarakat menentukan sendiri keputusan mereka untuk menjual atau tidak atas tanahnya, termasuk dalam menentukan harga.

Dalam pengurusan hak atas tanah, tambah Sabarudin, perusahaan wajib menyediakan lahan untuk pembangunan kebun masyarakat sekitar (FPKMS) sebesar 20 persen lahan yang bersumber dari pelepasan kawasan hutan atau APL dalam proses permohonan HGU. Aturan FPKMS 20 persen tidak dimaknai lahan dari masyarakat.

Dalam konteks pembangunan FPKMS, masyarakat juga diberikan ruang kebebasan untuk menentukan pola kemitraan dalam pembangunan dan pengelolaan kebun tersebut dengan perusahaan mitra.

Tidak selalu dan sebaiknya mengindari pengelolaan dalam manajemen satu atap, yang kerap menimbulkan konflik serta nir transparansi.

"Pengelolaan dalam satu manajemen perusahaan atau dikenal manajemen satu atap kerap kali menempatkan petani plasma atau masyarakat sekitar sebagai buruh, bahkan menjadi penonton, karena tidak ada kejelasan pembagian peran dalam pengelolaan lahan," ungkap Sabarudin.

Pengelolaan seluruhnya dilakukan perusahaan inti. Termasuk makin lemahnya fungsi kelembagaan tani atau koperasi dalam manajemen pengelolaan lahan.

Kerjasama seperti ini, lanjut dia, di berbagai wilayah justru menihilkan tanggung jawab sosial perusahaan untuk melakukan pemberdayaan kepada petani dan masyarakat sekitar.

Padahal idealnya, kemitraan dibangun agar terjadinya transfer pengetahuan maupun teknologi kepada petani maupun masyarakat sekitar.

"Kewajiban perusahaan lainnya adalah membangun kemitraan usaha perkebunan dengan masyarakat sekitar atau petani sawit swadaya, dapat berupa kemitraan dalam jual beli hasil produksi, kemitraan penyediaan bibit atau pupuk dan bentuk kemitraan lainnya," tutur dia.

Dua kewajiban perusahaan tersebut, dalam praktiknya seringkali diartikan sama, padahal merupakan dua norma hukum berbeda yang wajib dipenuhi perusahaan untuk memperoleh HGU.

Kemitraan usaha perkebunan tidak selalu dalam bentuk pengelolaan lahan, yang justru menciptakan ketergantungan petani dan masyarakat pada perusahaan.

Karena itu, Sabarudin menilai diperlukan peranan pemerintah daerah dalam memfasilitasi kemitraan usaha perkebunan, agar dibangun menurut kebutuhan masyarakat atau petani swadaya untuk menciptakan kerjasama yang fair dan saling menguntungkan.

Kemitraan jual beli hasil produksi antara perusahaan dengan petani swadaya melalui kelembagaan tani/koperasi harus menjadi prioritas.

"Sehingga hasil produksi dari perkebunan sawit rakyat masuk dalam rantai pasok minyak sawit perusahaan baik untuk ekspor maupun kebutuhan dalam negeri. Hal ini juga selaras dengan kebutuhan traceability di level pabrik," tutur Sabarudin.

Sabarudin juga menekankan peranan pemerintah daerah untuk melakukan pembinaan dan pengawasan serta evaluasi terhadap pengembangan sawit oleh pelaku usaha di wilayahnya.

Hal ini dapat dilakukan melalui instrumen penilaian usaha perkebunan secara berkala dan memberikan evaluasi serta penegakan hukum bagi pelaku usaha yang melanggar.

Dalam konteks pengawasan, penting dilakukan secara transparan dan melibatkan masyarakat.

Tantangan lain yang harus menjadi perhatian pemerintah, termasuk pemerintah daerah saat ini adalah memastikan pengembangan sawit di wilayahnya memperhatikan berbagai pendekatan berkelanjutan yang diadopsi oleh pasar saat ini termasuk kewajiban mandatori ISPO. Hal ini untuk memastikan investasi sawit di wilayahnya dapat diterima di pasar ekspor.

Sementara itu, Akademisi sekaligus Pemerhati Industri Kelapa Sawit Indonesia, Muhamad Tonasa mengungkapkan kemitraan perusahaan dengan masyarakat adalah mutlak diperlukan agar terjadi keseimbangan dan kenyamanan finansial petani swadaya di daerah.

Tonasa menambahkan, sebagai seorang akademisi dan cendekiawan yang berfokus pada kemitraan masyarakat dan perusahaan kelapa sawit, ia telah melakukan penelitian mendalam tentang bagaimana membangun ekosistem bisnis yang setara dan adil. Dalam beberapa dekade terakhir, industri kelapa sawit telah menjadi salah satu sektor ekonomi yang paling dinamis di Indonesia, namun juga dihadapkan pada berbagai tantangan terkait dengan dampak lingkungan dan sosial.

"Saya percaya bahwa kemitraan antara masyarakat dan perusahaan kelapa sawit dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut. Dengan membangun kemitraan yang setara dan adil, kita dapat menciptakan ekosistem bisnis yang berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi semua pihak," ungkap Direktur The Sawit dan Nickel Analitics Institute ini.

"Dalam penelitian saya, telah menemukan bahwa kemitraan antara masyarakat dan perusahaan kelapa sawit dapat memberikan berbagai manfaat, seperti meningkatkan pendapatan masyarakat, mengurangi kemiskinan, dan memperbaiki kualitas lingkungan. Namun, untuk mencapai hal tersebut, diperlukan komitmen dan kerja sama yang kuat antara semua pihak," kata Tonasa.

Ia juga telah menemukan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan kemitraan antara masyarakat dan perusahaan kelapa sawit, seperti transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kesadaran dan kapasitas masyarakat dalam berpartisipasi dalam kemitraan dengan perusahaan kelapa sawit.

Ia percaya bahwa dengan kerja sama dan komitmen yang kuat, kita dapat menciptakan ekosistem bisnis yang berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi semua pihak.

Tonasa berharap penelitian dan pengalaman dapat memberikan kontribusi pada pembangunan kemitraan yang setara dan adil antara masyarakat dan perusahaan kelapa sawit. 

"Saya berharap bahwa kita dapat terus bekerja sama untuk menciptakan ekosistem bisnis yang berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi semua pihak," harap akademisi asal Muna Barat ini.

Kemitraan seperti ini juga penting untuk menghindari rantai suplai yang panjang di level petani swadaya serta menciptakan harga TBS kelapa sawit yang lebih menguntungkan, dibandingkan melalui perantara atau middleman.

Untuk menciptakan ekosistem tersebut, masih kata Tonasa, intervensi terhadap penguatan sawit rakyat diperlukan melalui peranan pemerintah, perusahaan dan stakeholder lain untuk memfasilitasi kebutuhan petani, mulai dari aspek pendataan dan pemetaan lahan, legalitas usaha, kelembagaan tani dan kapasitas SDM.

Berbagai aspek tersebut merupakan bagian dari menciptakan tata kelola sawit rakyat yang berkelanjutan.

"Hal ini juga di dukung dalam berbagai kebijakan pemerintah saat ini, seperti kebijakan mandatori ISPO dan Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan yang saat ini diganti dengan Strategi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan," tandas Tonasa.

Laporan: Abas

0 Komentar

Posting Komentar
© Copyright 2022 - Media Online sultrapos.id